Cinta Antara Toga dan Wisuda
The Journey to be a SARJANA
3 setengah tahun lalu, setelah memasuki semester pertama
Di ruang nomor 301 lantai 3, Rumah Sakit. Sesosok wanita terbaring lemah tak berdaya tengah ditemani oleh 2 perempuan yang sedang menjenguknya. Wanita paruh baya itu terus menggenggam erat adiknya lantaran menahan sakit yang tak tertahankan.
"Kak, maaf aku belum bisa membayar hutangku di waktu dekat ini. Semua uangku habis untuk membeli rumah dan juga untuk mendaftarkan Varsha ke Perguruan Tinggi," ujar Ana menjelaskan.
Sang kakak menggeleng lemah, "Tidak apa-apa. Aku ikhlas, asal anak mu harus lulus Sarjana dengan membanggakan. Toh, mungkin....waktuku di dunia ini sebentar lagi akan habis,"
"Kak..." Ana tidak bisa menahan air mata kesedihan hingga ia menggenggam tangan sang kakak lebih erat.
Dan suasana kesedihan menyelimuti di ruang inap.
-
-
Varsha tersadar dari lamunan saat dosen di hadapannya menjentikkan jemarinya di depan matanya.
"Varsha, wake up. Stop bein' absent minded!"
"S-Sorry, sir!"
Varsha menghela nafas selagi berusaha mengumpulkan diri kembali untuk fokus pada rencana penulisan skripsi.
"Jadi, kamu pilih tentang karya film sebagai materi utama skripsi mu?" tanya Dosen yang baru saja menerimaku sebagai pembimbing skripsi ku.
"Ya, sir. Karena saya tertarik untuk meneliti psikologi karakter utama film ini, Ben, yang ternyata dia memiliki kenangan buruk di masa kecilnya hingga ia menjadi trauma saat dewasa,"
Dosen muda berparas tampan tersenyum kecil, "Berarti penelitian kamu berdasarkan kualitatif dan ini merujuk ke ranah Psychology-Literature. Nanti kamu cari sumber dari buku dan Internet, lalu pelajari teori Psychoanalysis dari pakar Sigmund Freud," pintahnya memberikan tugas
"Baik, sir!"
"Lalu, saya mau tanya. Kenapa kamu lebih memilih saya sebagai Supervisor mu? Kamu tahu sendiri kalau Sir Manu yang seharusnya membimbing pengerjaan skripsi mu?" tanya Dosen bernama Bima.
"Tidak apa-apa. Saya hanya lebih nyambung jika saya belajar dengan sir Bima."
"Oh," Bima tertawa kecil mendengar jawaban Varsha apa adanya. "Oke. Jadi ada pertanyaan lagi?"
Sekejap Varsha menatap lurus pada kedua matanya, "Hm..untuk Bab pertama, Background of Study. Penjelasannya harus bertahap gimana ya, sir?
"Oke. Jadi Bab ini diawali dengan pengertian Sastra secara harfiah atau pengertian kamu sendiri, lalu menurut pakar atau sumber. Dan karena kamu meneliti sastra berdasarkan karya Film, jadi sebutkan pengertian Film menurut sumber. Dan..."
Penjelasan yang panjang pun diutarakan dengan tulisan dan arahan Bima secara perlahan dan detail. Dan perlahan Varsha mengerti satu per satu dengan penjelasan Dosen. Dan lambat laun kami menjadi lebih nyaman saat kami berdiskusi tentang materi yang akan Varsha tulis nanti, hingga Varsha lupa oleh waktu untuk pulang yang seharusnya lebih awal.
Bima Satya Pratama. Salah satu Dosen muda yang cukup populer di kalangan para mahasiswa jurusan Sastra Inggris, karena paras wajahnya yang tampan dan badan yang proposional. Sifatnya yang ramah, murah senyum dan pendiam. Namun ia juga bisa berubah menjadi pria berhati dingin setiap kali ia bertemu dengan siswa yang tidak berniat belajar mata kuliah nya. Bahkan, pria berumur 33 tahun ini juga digadang-gadang sebagai calon Doktor masa depan mengingat ia masih mengerjakan Tesis untuk kelulusannya.
Dan Varsha salah satu pengagum Bima seorang. Tetapi bukan karena ketampanannya, melainkan karena Varsha merasa harus belajar dengan Dosen yang lebih mengerti betul tentang Sastra mengingat Varsha suka menulis cerita pendek fiksi.
*
Semenjak diputuskan Bima sebagai Dosen pembimbing Varsha, hari demi hari berlanjut dengan kesibukan Varsha untuk menyusun skripsi. Setiap kali Varsha menyelesaikan bagian demi bagian isi Skripsi, Varsha selalu melaporkan perkembangannya pada Bima untuk di revisi.
Kadang kala, ada yang harus diperbaiki setiap terjadi kesalahan pada penulisannya. Dan berkali-kali juga stress menerjang dirinya karena Varsha kebingungan bagaimana mengetik penjelasan materi dengan bahasanya sendiri. Hingga Varsha sering kali begadang dan baru bisa tidur lelap pukul 2 dini hari.
Setelah 1 bulan, 15 hari berlalu, kini Varsha tengah berada di Perpustakaan Kampus untuk mencari contoh-contoh Skripsi dari para Alumni Universitas bersama teman dekatnya satu kelas, Gita. Gita yang terlihat putus asa pun menyandarkan punggungnya di kursi kayu.
"Gile ye! Gimana gak stres kalau aku dapat dosen yang terlalu banyak mencari kesalahan di penulisan skripsi ku?!" geramnya pelan. "Asli.. Kayaknya sir Bima demen banget nyiksa muridnya setiap kali mau revisi?!"
"'Kan kamu sendiri yang mau dopingnya Sir Bima, bukan sir Kiki?"
"Tau ah, rasanya kayak mau pecah kepalaku!" keluh Gita sambil melempar pulpen diatas buku.
"Jadi kamu nyesel uda minta ganti Doping? Atau gimana?? Udah jelas sir Bima itu orangnya perfeksionis karena dia paling ngerti soal ranah yang kita pelajari,"
"Emang kamu udah nyampe mana skripsinya?"
"Aku? Udah mau bab 4 sih,"
"Gila, aku masih stuck di Bab 1!"
Varsha hanya bisa menggeleng kepala pelan dan berusaha tak mengindahkan keluhan demi keluhan yang dialami gadis berambut lurus dan panjang. Ia lebih memilih melanjutkan apa yang awalnya ingin dikerjakannya.
*
Hari Sabtu pukul 9 pagi, Varsha dan Gita datang ke ruang Dosen dan bertemu dengan Bima di kantornya.
"Sir, saya mau revisi skripsi saya," ucap Gita lebih dulu.
"Oke. Udah sampe mana?"
"Masih di Bab 1...sir," jawab Gita ragu.
"..."
Bima tidak berkomentar, melainkan mengambil hasil skripsi Gita dan mulai mengoreksi isinya dengan ekspresi yang tak terbaca. Dalam waktu sangat singkat Bima menoleh ke sang pemilik skripsi.
"Gita, sudah berapa kali saya bilang? Isi dari Bab perkenalan harus bertahap dimulai dengan pengertian Sastra secara harfiah, lalu menurut pakar, dan jelaskan dibagi menjadi apa saja dalam bentuk Satra. Kamu novel kan? Nah, jelaskan pengertiannya! Lalu pengertian sebuah tokoh dalam cerita. Habis itu sebutkan judul Novel dan jelaskan sinopsisnya. Lalu siapa penulisnya dan jelaskan latar belakang munculnya Novel itu. Lalu alasan kamu memilih judul Skripsinya apa, dan termasuk ranah apa yang ingin kamu teliti. Baru, untuk paragraf terakhir, jelaskan lebih spesifiknya kamu memilih ranah apa misalnya dan siapa pakarnya. Jadi pembaca bisa mengerti apa yang sebenarnya kamu teliti dan paham tujuan yang akan kamu sampaikan. Sekarang yang kamu buat ini masih jauh dari kaidah untuk sebuah perkenalan dan latar belakang skripsimu sendiri. Gimana sih?!"
"Ya Allah, sir.... Saya sudah berusaha,"
"Belum. Kamu belum berusaha. Kelihatan kok dari hasil skripsi kamu ini, kamu gak mencoba pahami apa yang saya sampaikan dari kemarin-kemarin. Ini sudah pertemuan ke 11, dan kamu masih belum ada perkembangan sama sekali!"
"Ish, sir tega sama saya!" rengek Gita.
"Itu demi kebaikan kamu, kalau kamu mau lulus. Sekarang giliran Varsha, saya mau lihat hasilnya."
Bima menyerahkan hasil Skripsi pertama pada Gita, dan lanjut memeriksa milik Varsha.
Berbanding terbalik, Bima lebih banyak tersenyum selama memeriksa Skripsi milik Varsha. Sesekali ia mengoreksi kesalahan sedikit demi sedikit dari penjelasan materi skripsi dengan pulpen nya.
Bima menoleh pada Varsha, "Ini ada beberapa yang harus di perbaiki dalam pengetikkannya saja. Cuma di bab 2, bagian Conceptual Framework. Itu harus di jelasin satu satu setiap makna yang akan kamu sampaikan, dan menurut pakar di ranah psikologi, dari makna Child Witnessed, Self-Conflict dan Self-Determination . Lalu pengetikan untuk mengutip sumbernya, seharusnya ini - "
Bima menjelaskan perlahan sambil menulis arahan tertentu sebagai cara mutlak dalam penyelesaian skripsi dengan benar. Varsha hanya mengangguk mengerti, dan sesekali bertanya jika ada yang tidak ia pahami.
Tanpa disadari juga, mimik wajah Gita berubah. Hingga tanpa ragu ia menginterupsi diskusi Varsha dengan Bima.
"Permisi, sepertinya saya mau pulang aja. Yuk Varsha!" ajak Gita tiba-tiba.
"Git, aku kan belum selesai. Ini Sir Bima masih jelasin bagian yang belum aku paham," jawab Varsha heran.
"Udah jam berapa ini? Aku pun disuruh pulang cepat ama abang ku, karena dia mau pergi. Aku harus jaga rumah entar."
"Kamu saja yang pergi. Biar Varsha sama saya saja!" jawab Bima ketus tiba-tiba.
Varsha dan Gita seketika melongo pada Bima yang tiba-tiba ikut berbicara dengan nada menantang. Dan di waktu yang sama pula, Varsha merasakan jantungnya berdegup kencang dari biasanya.
'Apa ini? Kenapa Sir Bima bicara kayak gitu tiba-tiba?' batin Varsha bertanya-tanya
"Sir, kok ngomong gitu sama saya? Saya kan cuma ingin izin pulang," ujar Gita yang ikut heran.
"Dan saya sudah mengizinkan kamu pergi kalau kamu mau pulang. Tapi tidak dengan Varsha, karena dia masih ingin belajar dengan saya. Paham maksud saya?" tanya Bima lebih menantang.
Varsha hanya bisa terdiam, tak berani ikut angkat bicara. Gita hanya menghela nafas panjang dan langsung mengambil buku Skripsi dan tasnya dari meja kerja Bima, lalu bangkit dari kursi yang ia duduki tadi.
"Baik, kalau begitu saya pergi duluan. Permisi!" izin Gita cepat.
"Git, tunggu-"
Bima menahan tangan Varsha agar menghentikan pergerakannya lebih lanjut. Varsha menoleh pada Bima dengan panik setelah sosok temannya keluar dari kantor Dosen.
"Sir, Gita...."
"Biarkan saja. Diemin dia,"
"Aduh, gimana ini..." Varsha terdiam sebentar saat menangkap pemandangan tidak terduga ketika tangan Bima memegang erat tangannya.
Bima yang menyadari hal itu segera melepaskan tangannya dari milik Varsha. "M-Maaf..."
Varsha mengelus pergelangan tangannya sambil tersipu, "T-Tidak apa-apa, sir."
"Jadi, ayo kita lanjutkan?" tanyanya pelan setelah suasananya sudah lebih kondusif.
Varsha mengangguk pelan, dan melanjutkan diskusi yang mereka belum selesaikan.
*
Pukul 8 malam. Varsha yang tengah sibuk seperti biasa tiba-tiba menerima panggilan di ponselnya yang ternyata dari Gita, lalu mengangkatnya.
"Ya, git?"
"Sha, kamu lagi apa?"
"Ngapain lagi, ya kerjain Skripsi lah! Kenapa? Ada yang mau ditanyakan?" tanya Varsha sambil merebahkan tubuhnya di ranjang untuk istirahat sebentar.
"Gak nanya sih, cuma pengen request sesuatu,"
"Apaan tuh?"
Varsha mendengar helaan nafas panjang, "Aku mau kamu kerjain skripsi ku. Entah kapan kamu menyelesaikannya itu terserah, pokoknya nanti aku bayar berapa pun. Bisa gak? Toh, kamu juga dikit lagi selesai kan?"
"Lho? Tapi kenapa?? Kan kamu bisa minta bantuin ke abang mu atau temen lain,"
"Abangku mana ngerti, Sha! Dia bukan lulusan Sastra Inggris kek kita. Tau ah! Otakku udah mentok. Nyerah aku sudah! Belum lagi buat berhadapan dengan si Sir Bima yang gak tau lagi kek gimana entar. Lama-lama aku muak, Sha!"
Varsha terdiam. Tak tahu bagaimana ia menanggapinya, hingga tak sadar jemarinya mencubit pangkal hidungnya dan merasakan hatinya bergelut.
"Sori. Entar aku pikirin dulu,"
"Oh. Ya sudah gak apa-apa. Kamu lanjut aja dulu. Nanti kabari aja kalau kamu bisa,"
"Oke,"
Varsha memutuskan sambungan telepon dan menaruh asal ponselnya di ranjang. Varsha menghela nafas panjang dan memejamkan kedua matanya perlahan.
*
"Pokoknya cukup ya, Sha! Mama muak dengan sikap teman kamu yang suka semaunya dia!" pekik Ana tak terima setelah mendengar cerita anaknya.
"Ma...,"
"Sudah berapa kali mama bilang, Sha. Gita hanya memanfaatkan kepedulianmu itu, dan itu namanya bukan teman, nak. Harusnya kamu jangan terlalu baik padanya. Coba pikirin, kamu pergi ke kampus harus jemput dia ke rumahnya, dan pulangnya harus antar dia ke rumahnya dulu hampir setiap hari. Tapi dirumah ada abangnya yang harusnya bisa ngantar adiknya ke kampus tiap hari pakai mobil, masa dia gak mau, sih? Mana dia jarang banget mau main ke rumah. Tapi kamu lebih sering ke rumahnya dan bantu-bantu ngurusin keperluan dia saja. Gita terlalu egois, Sha! Sudah cukup,"
Varsha termangu di sofa ruang keluarga. Memikirkan setiap ucapan Ibunya yang di rasa benar. Namun masih ragu apa yang akan diperbuatnya,
"Jadi Varsha musti gimana jawabnya?"
"Diemin saja dia! Anak gak bener kayak gitu gak bisa diharapkan. Gampang sekali dia menguangkan segala cara demi kepentingannya sendiri, apalagi ke kamu yang dianggapnya sebagai teman katanya! Padahal itu uang masih punya orang tuanya lho! Cih, gak tahu malu!" racau Ana ketus.
Varsha terdiam lagi dan menghela nafas sejenak. Pikirannya terus mengembara dengan apa yang dikatakan Ibunya. Rasa sakit hati mulai menjalar saat ia baru sadar betapa bodohnya Varsha tidak menyadari hal ini sejak awal.
*
Seminggu berturut-turut, Varsha tidak mengabari Gita tentang keputusannya. Ia lebih memilih diam dan fokus pada apa yang dikerjakan sekarang. Dan memang tak terasa, sebentar lagi Skripsinya akan rampung dalam waktu dekat.
Tiba-tiba ponselnya berdering menandakan telepon yang ternyata dari Gita. Varsha menghela nafas lalu segera mengangkatnya.
"Halo, Git,"
"Varsha, tau gak aku udah kirim chat berkali-kali dari kemarin-kemarin tapi gak ada jawaban sama sekali dari kamu. Kamu kenapa sih?"
Varsha mengerjap, "Gak apa-apa. Aku hanya terlalu fokus apa yang aku lakukan,"
"Bohong,"
"Eh?"
Suara tawa kecil terdengar, "Kalo kamu gak mau bantu buatin skripsi bilang aja sih, aku bisa cari orang lain buat nolongin aku."
Aku menghela nafas sejenak, "Ya. Maaf aku memang gak bisa,"
Gita terdiam sejenak, "Ya...aku mengerti sekarang. Dah,"
"Dah.."
Varsha memutuskan sambungan ponsel seketika tanpa ragu. Ia menaruh ponselnya lagi diatas meja. Dan kini, ia mendaratkan punggungnya di sandaran kursi, mulai melemaskan otot tengkuk dan kedua bahunya yang terasa kaku untuk beristirahat sejenak. Mengingat ia baru saja menyelesaikan Bab 5 di Skripsi.
"Aku lelah," gumamnya pelan.
*
Di kantor Dosen, Bima memeriksa hasil skripsi Varsha di Bab 5. Setelah hasil analisa dan temuan sudah dikatakan benar, Varsha bernafas lega.
"Gitu dong...baru benar," ujarnya bangga
"Syukurlah," ucap Varsha pelan.
Bima meneliti mimik wajah Varsha yang terlihat berbeda dari nada ucapan barusan, "Tapi wajah kamu muram. Kenapa?"
Varsha mengerjap, "E-Eh? Gak...Gak apa-apa, sir!"
Bima mengerutkan dahinya sejenak, "Gita mana? Tumben kalian gak bareng?"
"Hmm, itu...saya pun gak tahu," jawab Varsha sambil terkekeh, pura-pura tidak tahu.
"Oh?"
Sebenarnya, beberapa hari setelah pembicaraan via telepon itu. Gita sudah tidak lagi menghubungi Varsha seperti biasa. Bahkan gadis itu sudah memblokir kontak Varsha hingga ia tak dapat menghubunginya lagi. Dan sekarang mereka sudah tidak pernah bertemu lagi.
Setelah Varsha dan Bima selesai berdiskusi membahas skripsi, Bima bangkit dari kursi kerjanya dan menoleh pada Varsha.
"Saya mau merokok sambil minum es kopi di depan kampus. Sekalian nunggu adzan Dzuhur juga. Mau ikut?"
"E-Eh?? Kebetulan saya juga mau ngopi didepan sebelum pulang," sahut Varsha sembari tertawa kecil.
"Oh, kamu suka ngopi juga ternyata? Kalau gitu ikut saya saja. Nanti saya traktir,"
Varsha menggeleng cepat, "G-Gak usah, sir. Saya bisa bayar sendiri,"
Bima terkekeh, "Tenang. Lima ribu untuk segelas kopi gak akan rugiin saya. Ayo!"
Varsha mau tidak mau mengikuti langkah Dosennya keluar dari gedung Kampus dan menghampiri lokasi istirahat favoritnya setiap jam istirahat. Duduk dibawah pohon rindang pinggir jalan, sambil mengeluarkan sekotak rokok dan pemantik apinya untuk memulai kebiasaan setiap orang di hari senggang. Tak lupa Bima memesan dua gelas es kopi pada pedagang minuman tepat di hadapannya.
"Sir, jadi apa sudah dipastikan tanggal Sidang Skripsi nya kapan?" tanyaku memulai percakapan.
"Belum dipastikan. Tergantung yang lain jika skripsi mereka rampung,"
"Oh, minimal berapa orang yang harus ikut Sidang segera, ya?"
"Lima orang setidaknya. Siap gak siap, mereka harus menghadapinya dengan mental yang kuat juga."
"Oh, begitu..."
"Kamu tahu? Dari semua anak didik yang saya bimbing, cuma kamu yang sedikit lagi akan selesai. Sepertinya memang kamu yang akan maju di Sidang perdana,"
Kedua mata Varsha terbelalak, "Masa, sir??"
"Iya, benar. Tanya saja teman-teman sekelasmu kayak Lini, Gita, James dan Dara, baru sampai mana skripsi mereka,"
Varsha hanya tertawa ringan sambil menggeleng kepala menunduk, "Gak lah. Cukup menjadi rahasia saya sama sir Bima,"
"Oke kalo gitu. Nanti kamu tinggal buat Conclusions dan Suggestions untuk bab terakhir, berdasarkan Problem of the Study di awal bab. Setelah itu langsung buat References. Sudah ngerti kan cara buat Referensi nya?"
"Iya, mengerti. Kan ada buku pedomannya, sir,"
"Bagus kalo gitu,"
Senyuman sang Dosen merekah di wajah yang rupawan, namun ini pertama kalinya senyumannya berbeda dari biasanya. Dan itu membuat hati Varsha berdebar-debar dan juga menghangat secara bersamaan.
'Apa aku mulai suka sama sir Bima? Tapi mana mungkin?!' batinku bertanya-tanya sambil merasakan pipi gadis tersebut memanas.
*
Posting Komentar untuk "Cinta Antara Toga dan Wisuda"